Bagi yang mengalami kesulitan login
dapat mengirimkan email ke email St. Agnes
Email: Password:
Lupa Password
HANYA SEBUAH PEMBERIAN Agustina Ria Santiningtyas
Dipostingkan tanggal: 2021-06-17
Oleh: Ni Wayan Virgin

Saya tidak pernah memiliki cita-cita menjadi seorang guru. Tidak ada satu pun sosok guru yang menginspirasiku untuk menjadi guru. Meskipun, kedua orang tuaku –keduanya guru –juga tidak membuatku untuk menjadi guru. Yang terjadi adalah sebaliknya, bagiku menjadi guru sama halnya mengulang keadaan yang sama seperti yang dialami keluargaku. Gaji yang diterima orang tuaku ternyata tidak membawa keluarga kami dalam kondisi ‘berada’ tetapi justru sebaliknya. Kedua orang tuaku harus kerja keras menjadi petani sebagai ‘kerja sambilan’ agar dapur kami tetap ‘ngebul’, dan anak-anak tetap bersekolah. Setiap pagi, kami –anak-anak –harus berangkat sambil mengomel bahkan menangis karena uang saku yang ‘mepet’. Ketidakcukupan ini tidak hanya berlangsung setahun, dua tahun, tetapi berlangsung lama. Namun demikian, pandangan masyarakat mengenai sosok guru sebagai panutan, membuat kepala kami tetap tegak.

Hingga suatu ketika aku dihadapkan pada pilihan, kuliah di jurusan yang kuinginkan atau mengikuti keinginan orang tua untuk jadi guru. Pilihan yang sulit bagiku, jika aku mengikuti keinginanku ternyata biaya yang dibutuhkan sangat banyak. Melihat kondisi ekonomi keluarga yang ‘nge-pres’, akhirnya aku lepaskan keinginanku ini, dan mengikuti keinginan orang tuaku.

Hari-hari perkuliahan di FKIP aku jalani dengan ngambang, asal jalan. Belum ada sebersit panggilan dalam hatiku untuk jadi guru. Mata kuliah yang aku ikuti, aku pandang sebagai ilmu pengetahuan saja. Angan-angan setelah lulus akan mengajar juga belum terbentuk dalam pikiranku. Sampai pada masa yang membawaku untuk yakin menjadi guru.

Masa itu ialah masa-masa saat aku mengikuti PPL di sebuah SMK swasta di Yogyakarta. Di sekolah ini, para siswa berasal dari siswa-siswa yang tidak diterima di sekolah favorit. Berbagai macam karakter aku temui di sekolah ini. Amburadul. Itu satu kata yang bisa aku gambarkan mengenai keadaan para siswa. Setiap masuk kelas, sepanjang pelajaran bukannya mereka mau mengikuti pelajaran saya, tetapi menggoda terus menerus. Kondisi seperti justru memanggilku untuk ‘memperbaiki’ mereka. Pelan-pelan aku mendekati dan memberikan kenyamanan agar mereka menerimaku. Tak jarang aku mengajak mereka mengobrol, sharing, bahkan konseling untuk mereka. Pendekatan ini ternyata juga memiliki manfaat ketika aku menularkan ilmu pengetahuan kepada mereka. Aku semakin giat untuk mengajari mereka, dorongan untuk terus memberi perhatian dan ilmuku semakin kuat.

Setelah aku renungkan, ternyata semangat ingin memberi inilah yang mendorongku untuk terus menjadi guru. Ternyata bukan materi yang membuatku menjadi kaya dan sukses, tetapi karena aku memberi yang aku punya kepada anak-anak membuatku makin kaya. Aku menjadi mengulang masa-masa ketika setiap pagi aku menyaksikan kedua orangtuaku harus berjalan berkilo-kilo untuk mengajar. Ternyata mereka punya alasan lain, alasan yang sama mungkin denganku. Ketika aku sudah tidak mengajar mereka, para siswa akan terus membawat apa yang sudah aku beri untuk mereka. Aku memberi mereka bekal hidup. Bukankah itu makna kita hidup?

Jumlah Pengunjung:

© 2013 StAgnes WEB - Powered by iSTTS