Saya
tidak pernah memiliki cita-cita menjadi seorang guru. Tidak ada satu pun sosok
guru yang menginspirasiku untuk menjadi guru. Meskipun, kedua orang tuaku –keduanya
guru –juga tidak membuatku untuk menjadi guru. Yang terjadi adalah sebaliknya,
bagiku menjadi guru sama halnya mengulang keadaan yang sama seperti yang
dialami keluargaku. Gaji yang diterima orang tuaku ternyata tidak membawa
keluarga kami dalam kondisi ‘berada’ tetapi justru sebaliknya. Kedua orang
tuaku harus kerja keras menjadi petani sebagai ‘kerja sambilan’ agar dapur kami
tetap ‘ngebul’, dan anak-anak tetap bersekolah. Setiap pagi, kami –anak-anak
–harus berangkat sambil mengomel bahkan menangis karena uang saku yang ‘mepet’. Ketidakcukupan ini tidak hanya
berlangsung setahun, dua tahun, tetapi berlangsung lama. Namun demikian,
pandangan masyarakat mengenai sosok guru sebagai panutan, membuat kepala kami
tetap tegak.
Hingga
suatu ketika aku dihadapkan pada pilihan, kuliah di jurusan yang kuinginkan
atau mengikuti keinginan orang tua untuk jadi guru. Pilihan yang sulit bagiku,
jika aku mengikuti keinginanku ternyata biaya yang dibutuhkan sangat banyak.
Melihat kondisi ekonomi keluarga yang ‘nge-pres’,
akhirnya aku lepaskan keinginanku ini, dan mengikuti keinginan orang tuaku.
Hari-hari
perkuliahan di FKIP aku jalani dengan ngambang,
asal jalan. Belum ada sebersit panggilan dalam hatiku untuk jadi guru. Mata
kuliah yang aku ikuti, aku pandang sebagai ilmu pengetahuan saja. Angan-angan
setelah lulus akan mengajar juga belum terbentuk dalam pikiranku. Sampai pada
masa yang membawaku untuk yakin menjadi guru.
Masa
itu ialah masa-masa saat aku mengikuti PPL di sebuah SMK swasta di Yogyakarta.
Di sekolah ini, para siswa berasal dari siswa-siswa yang tidak diterima di
sekolah favorit. Berbagai macam karakter aku temui di sekolah ini. Amburadul. Itu satu kata yang bisa aku
gambarkan mengenai keadaan para siswa. Setiap masuk kelas, sepanjang pelajaran
bukannya mereka mau mengikuti pelajaran saya, tetapi menggoda terus menerus.
Kondisi seperti justru memanggilku untuk ‘memperbaiki’ mereka. Pelan-pelan aku
mendekati dan memberikan kenyamanan agar mereka menerimaku. Tak jarang aku
mengajak mereka mengobrol, sharing,
bahkan konseling untuk mereka. Pendekatan ini ternyata juga memiliki manfaat
ketika aku menularkan ilmu pengetahuan kepada mereka. Aku semakin giat untuk
mengajari mereka, dorongan untuk terus memberi perhatian dan ilmuku semakin
kuat.
Setelah
aku renungkan, ternyata semangat ingin memberi inilah yang mendorongku untuk
terus menjadi guru. Ternyata bukan materi yang membuatku menjadi kaya dan
sukses, tetapi karena aku memberi yang aku punya kepada anak-anak membuatku
makin kaya. Aku menjadi mengulang masa-masa ketika setiap pagi aku menyaksikan
kedua orangtuaku harus berjalan berkilo-kilo untuk mengajar. Ternyata mereka
punya alasan lain, alasan yang sama mungkin denganku. Ketika aku sudah tidak
mengajar mereka, para siswa akan terus membawat apa yang sudah aku beri untuk
mereka. Aku memberi mereka bekal hidup. Bukankah itu makna kita hidup?